Advertisement
Busurteliksandi.com, Pringsewu – Anggaran Dana Desa Pekon Sidoharjo tahun 2024 kembali memicu tanda tanya publik. Sejumlah pos dana untuk pembangunan fisik jalan desa, posyandu, hingga penyertaan modal tercatat sangat besar, namun manfaat dan progresnya dinilai tidak sebanding. Kondisi ini memunculkan dugaan kuat terjadinya mark up dan ketidakwajaran pengelolaan anggaran yang patut diselidiki aparat penegak hukum (APH).
Dari dokumen APBDes 2024, anggaran untuk pembangunan/rehabilitasi prasarana jalan desa mencapai nilai fantastis:
Rp 234.340.000
Rp 82.410.000
Rp 48.510.000
Rp 29.000.000
Empat paket kegiatan dengan jenis pekerjaan yang sejenis, namun angka anggarannya terpaut sangat jauh, memunculkan dugaan ketidakwajaran harga satuan serta potensi penggelembungan biaya (mark up).
Di lapangan, warga mengaku tidak melihat progres signifikan. “Anggaran jalannya besar, tapi kondisi jalan masih begitu-begitu saja,” ujar seorang warga yang meminta tidak dicantumkan namanya.
Anggaran untuk kegiatan kesehatan juga menonjol karena nilai yang tidak kecil:
Penyelenggaraan Posyandu: Rp 36.000.000, Rp 9.000.000, Rp 8.250.000, Rp 1.160.000
Penyelenggaraan Pos Kesehatan Desa (PKD): Rp 9.300.000; Rp 5.400.000; Rp 770.000; Rp 654.000; Rp 490.000; Rp 162.200
Besarnya dana posyandu dan PKD semestinya berdampak langsung pada peningkatan gizi balita, ibu hamil, serta kualitas layanan kesehatan desa. Namun beberapa warga menyebut pelayanan posyandu masih seadanya dan belum terlihat peningkatan yang signifikan.
“Posyandu masih pakai alat lama, makanan tambahan juga itu-itu saja,” kata warga lainnya.
Penyertaan Modal Rp 50 Juta, Tidak Jelas Peruntukannya
Pos penyertaan modal desa tercatat mencapai:
Rp 50.000.000
Namun tidak tercantum informasi jelas mengenai unit usaha desa yang menerima modal tersebut, bagaimana mekanisme penyertaannya, serta laporan pertanggungjawabannya. Ketidakjelasan ini dapat membuka ruang penyimpangan dan wajib dibuka kepada publik, sesuai mandat UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, praktik penggelembungan harga (mark up), penyalahgunaan wewenang, dan kerugian negara dapat masuk dalam ranah Tipikor.
Perbedaan anggaran jalan desa yang sangat mencolok, nilai posyandu yang tidak berbanding lurus dengan kualitas layanan, serta penyertaan modal yang tidak jelas merupakan indikator awal yang layak didalami lebih lanjut oleh APH, baik Inspektorat, Kejaksaan maupun Kepolisian.
Warga berharap ada upaya serius untuk memeriksa penggunaan Dana Desa Sidoharjo 2024.
“Ini uang negara. Kalau anggarannya besar tapi hasilnya tidak terlihat, ya harus diperiksa,” ujar warga.
Besarnya anggaran pembangunan jalan desa, kegiatan posyandu, serta penyertaan modal Pekon Sidoharjo 2024 menimbulkan dugaan mark up dan ketidakwajaran. Minimnya transparansi memperkuat dorongan masyarakat agar APH turun tangan melakukan penelusuran mendalam demi memastikan penggunaan Dana Desa sesuai aturan dan tidak merugikan keuangan negara.(Tim)
