Busur Telik Sandi

lisensi

Busur Telik Sandi
Kamis, 02 Oktober 2025, Oktober 02, 2025 WIB
Last Updated 2025-10-02T14:50:20Z
Pesawaran

Dana Desa Rp 1,7 Miliar Diduga Tak Jelas, fungsi Pengawasan BPD Desa Paguyuban Dipertanyakan

Advertisement

PESAWARAN (Busurteliksandi.com) – Investigasi penggunaan Dana Desa di Desa Paguyuban, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, memunculkan tanda tanya besar. Selama dua tahun anggaran 2023–2024, total kucuran dana desa mencapai sekitar Rp 1,7 miliar. Namun, fakta di lapangan menunjukkan kesenjangan mencolok antara angka yang tertera di laporan dengan wujud pembangunan yang dirasakan masyarakat.

Sejumlah warga mengaku hanya melihat sedikit pembangunan yang sesuai dengan besarnya dana tersebut. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa ada praktik pengelolaan keuangan desa yang tidak transparan dan berpotensi menyimpang dari aturan.

Hal yang lebih mengejutkan justru datang dari Ketua BPD Desa Paguyuban, Wahyu, yang juga seorang kepala sekolah di MTS Raden Intan Wonodadi. Saat ditemui awak media, ia mengakui lemahnya fungsi pengawasan BPD.

“Terkait realisasi anggaran tahun 2023 dan 2024 memang ada pembangunan rabat beton jalan usaha tani di Dusun Pengayunan, gorong-gorong, dan beberapa titik lain. Tetapi untuk detail anggarannya saya lupa karena tidak melihat data,” ujarnya.

Lebih jauh, ketika ditanya apakah ia memiliki dan mempelajari dokumen APBDes, Wahyu mengaku tidak memegangnya. Bahkan, meski menandatangani dokumen APBDes, ia hanya melihat sekilas tanpa menelaah item demi item.

Pernyataan ini memperlihatkan adanya kelemahan serius dalam pengawasan internal desa. Padahal, sesuai amanat Undang-Undang, BPD memegang peran strategis dalam mengontrol jalannya kebijakan dan keuangan desa.

Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap penggunaan dana yang bersumber dari APBN maupun APBD wajib diumumkan secara terbuka kepada publik. Artinya, seluruh masyarakat Desa Paguyuban berhak tahu ke mana perginya uang Rp 1,7 miliar tersebut.

Apabila ditemukan adanya rekayasa laporan, mark-up, atau penggunaan dana yang tidak sesuai peruntukan, maka hal itu dapat mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.

Hingga kini, publik menunggu penjelasan resmi dan komprehensif dari Pemerintah Desa Paguyuban terkait penggunaan dana tersebut. Setiap rupiah dari dana desa adalah uang negara yang harus dipertanggungjawabkan demi kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar formalitas penyerapan anggaran.

Kasus ini menjadi cermin sekaligus peringatan keras bagi seluruh desa di Indonesia tentang betapa pentingnya transparansi, akuntabilitas, serta pengawasan aktif dari BPD dan masyarakat. Tanpa itu, dana desa yang semestinya menjadi motor pembangunan bisa berubah menjadi jebakan penyimpangan.(Tim)